*_CATATAN USTADZ ABU NASIM MUKHTAR_*
*Pondok : Masa Depan Kami (I)*
Untukmu yang akan kembali ke Pondok.
Ini hanya sekeping cerita tentang kami, yaitu saya dan yang selangkah, senafas, dan seperjuangan.
Mungkin berbeda cerita dengan kalian, yaitu kamu dan yang sama cara memandangnya denganmu.
Motivasi terbesar saya untuk belajar di Pondok adalah ayah saya.
Beliau sejak muda sudah menjadi guru, bahkan kepala sekolah di usia 21 tahun.
Ke pelosok daerah di Wonogiri hingga ke Sumatera, Beliau berjuang di jalur pendidikan.
Setelahnya menjadi dosen, bahkan mendirikan kampus hingga menjadi rektor.
“ Le, nek ora percoyo cobo kowe nang kantor dinas tenaga kerja.
Ora ono kok lulusan pesantren sing daftar nggolek gawean.
Sing nggolek gawean ki yo lulusan SMA karo sarjana-sarjana “, ayah saya menasihati. (terjemahan ada di paragraf akhir).
Pesan itu sangat membekas di hati saya. Pesan yang ayah saya sampaikan puluhan tahun yang lalu.
Pesan itulah yang menjadi bahan bakar semangat belajar di Pondok sejak lulus SD di tahun 1995.
Seiring berjalannya waktu, pesan dari ayah saya itu benar-benar nyata!
Di Pondok kami belajar bahwa tangan di atas jauh lebih baik dibandingkan tangan di bawah.
Mental pengemis yang berharap bantuan dan pemberian orang, sejak kami kecil diajarkan untuk menjauhinya. Siapa yang meminta-minta dan mengemis-ngemis di dunia, kelak di akhirat dibangkitkan dengan wajah tidak ada daging yang tersisa.
Di Pondok kami belajar untuk bekerja keras. Siapa yang sungguh-sungguh, ia akan sukses.
Rasa malas benar-benar diperangi.
Sejak sebelum subuh, kami dilatih untuk bangun.
Tidur pagi kami dilarang. Begadang malam tidak diizinkan.
Kami dididik untuk menghargai waktu layaknya pedang.
Jika engkau tidak memanfaatkannya, engkau yang akan tertebas.
Di Pondok kami belajar tentang harga diri.
Lebih baik mengumpulkan ranting-ranting kering, diikat, dipikul, dan dijual di pasar, daripada meminta-minta orang. Walaupun dipandang rendah karena penuh peluh keringat, meskipun hitam legam kulit, yang penting halal dan baik. Daripada kelihatannya mewah dan bergengsi, tapi nyatanya tercekik utang sana utang sini.
Di Pondok kami belajar bersabar.
Bahwa tidak ada kesuksesan tanpa penderitaan.
Itulah nafas pendidikan di Pondok.
Maka, kami dibentuk untuk bermental baja, bukan manja.
Dilatih optimis, bukan sedikit-sedikit merintih menangis.
Di Pondok, terpahat di hati kami; kesuksesan hanyalah milik orang yang bersabar.
Di Pondok kami belajar tentang kejujuran. Pokoknya harus jujur! Mau merintis awal usaha, mengelola, dan mengembangkannya, kami diyakinkan bahwa kejujuran adalah kuncinya.
Bukan dari awal sudah berbohong, dilanjutkan dengan berdusta, lalu diakhiri dengan kehancuran karena pengkhianatan.
Bukan seperti itu di Pondok diajarkan.
Di Pondok kami belajar dermawan.
Tidak hanya berpikir enaknya sendiri.
Tidak egois.
Kami di Pondok digembleng untuk tulus berbagi.
Makan satu nampan, sebelum lengkap belum mulai makan, bahkan kami saling mengalah agar teman lah yang makan.
Jatah satu orang dimakan bertiga bahkan berempat.
Prinsip kami di Pondok; kebersamaan lebih penting dari sekadar kenyang.
Dan di Pondok kami belajar tawakkal.
Ketika usaha dan ikhtiar hanyalah aspek manusia.
Kami diingatkan bahwa inteligensi, modal finansial, teori-teori entrepreneur, atau lembar-lembar ijazah, bukanlah faktor penentu. Keputusan adalah milik Allah semata-mata, zat pencipta dan pengatur jagad raya.
Kami sering dinasihati untuk tidak bosan berdoa.
Dan kami yakin ,karena sudah berulangkali bahkan tidak terhitung lagi, bahwa sekelumit doa sudah lebih cukup untuk bertahan hidup.
“ Nak, misal kamu tidak percaya.
Silahkan kamu berkunjung ke kantor dinas tenaga kerja.
Tidak ada lulusan pesantren yang mendaftar mencari pekerjaan.
Yang mencari pekerjaan itu ya lulusan SMA dan para sarjana “.
Terimakasih untuk ayahku, pak Rifai. Pesanmu akan aku jaga; bahwa di Pondok adalah masa depan kami, bi idznillah wa bi 'aunih.
Lendah, 09 April 2025
No comments:
Post a Comment