Pages

Sunday, 20 April 2025

Untukmu yang akan kembali ke Pondok

*_CATATAN USTADZ ABU NASIM MUKHTAR_* 

 *Pondok : Masa Depan Kami (I)* 

Untukmu yang akan kembali ke Pondok.

Ini hanya sekeping cerita tentang kami, yaitu saya dan yang selangkah, senafas, dan seperjuangan. 

Mungkin berbeda cerita dengan kalian, yaitu kamu dan yang sama cara memandangnya denganmu.

Motivasi terbesar saya untuk belajar di Pondok adalah ayah saya.

Beliau sejak muda sudah menjadi guru, bahkan kepala sekolah di usia 21 tahun.

Ke pelosok daerah di Wonogiri hingga ke Sumatera, Beliau berjuang di jalur pendidikan.

Setelahnya menjadi dosen, bahkan mendirikan kampus hingga menjadi rektor.

“ Le, nek ora percoyo cobo kowe nang kantor dinas tenaga kerja.

Ora ono kok lulusan pesantren sing daftar nggolek gawean.

Sing nggolek gawean ki yo lulusan SMA karo sarjana-sarjana “, ayah saya menasihati. (terjemahan ada di paragraf akhir).

Pesan itu sangat membekas di hati saya. Pesan yang ayah saya sampaikan puluhan tahun yang lalu.

Pesan itulah yang menjadi bahan bakar semangat belajar di Pondok sejak lulus SD di tahun 1995.

Seiring berjalannya waktu, pesan dari ayah saya itu benar-benar nyata!

Di Pondok kami belajar bahwa tangan di atas jauh lebih baik dibandingkan tangan di bawah.

Mental pengemis yang berharap bantuan dan pemberian orang, sejak kami kecil diajarkan untuk menjauhinya. Siapa yang meminta-minta dan mengemis-ngemis di dunia, kelak di akhirat dibangkitkan dengan wajah tidak ada daging yang tersisa.

Di Pondok kami belajar untuk bekerja keras. Siapa yang sungguh-sungguh, ia akan sukses.

Rasa malas benar-benar diperangi.

Sejak sebelum subuh, kami dilatih untuk bangun.

Tidur pagi kami dilarang. Begadang malam tidak diizinkan.

Kami dididik untuk menghargai waktu layaknya pedang.

Jika engkau tidak memanfaatkannya, engkau yang akan tertebas.

Di Pondok kami belajar tentang harga diri.

Lebih baik mengumpulkan ranting-ranting kering, diikat, dipikul, dan dijual di pasar, daripada meminta-minta orang. Walaupun dipandang rendah karena penuh peluh keringat, meskipun hitam legam kulit, yang penting halal dan baik. Daripada kelihatannya mewah dan bergengsi, tapi nyatanya tercekik utang sana utang sini.

Di Pondok kami belajar bersabar.

Bahwa tidak ada kesuksesan tanpa penderitaan.

Itulah nafas pendidikan di Pondok.

Maka, kami dibentuk untuk bermental baja, bukan manja.

Dilatih optimis, bukan sedikit-sedikit merintih menangis. 

Di Pondok, terpahat di hati kami; kesuksesan hanyalah milik orang yang bersabar.

Di Pondok kami belajar tentang kejujuran. Pokoknya harus jujur! Mau merintis awal usaha, mengelola, dan mengembangkannya, kami diyakinkan bahwa kejujuran adalah kuncinya.

Bukan dari awal sudah berbohong, dilanjutkan dengan berdusta, lalu diakhiri dengan kehancuran karena pengkhianatan.

Bukan seperti itu di Pondok diajarkan.

Di Pondok kami belajar dermawan.

Tidak hanya berpikir enaknya sendiri.

Tidak egois.

Kami di Pondok digembleng untuk tulus berbagi.

Makan satu nampan, sebelum lengkap belum mulai makan, bahkan kami saling mengalah agar teman lah yang makan.

Jatah satu orang dimakan bertiga bahkan berempat.

Prinsip kami di Pondok; kebersamaan lebih penting dari sekadar kenyang.

Dan di Pondok kami belajar tawakkal.

Ketika usaha dan ikhtiar hanyalah aspek manusia.

Kami diingatkan bahwa inteligensi, modal finansial, teori-teori entrepreneur, atau lembar-lembar ijazah, bukanlah faktor penentu. Keputusan adalah milik Allah semata-mata, zat pencipta dan pengatur jagad raya.

Kami sering dinasihati untuk tidak bosan berdoa.

Dan kami yakin ,karena sudah berulangkali bahkan tidak terhitung lagi, bahwa sekelumit doa sudah lebih cukup untuk bertahan hidup.

“ Nak, misal kamu tidak percaya.

Silahkan kamu berkunjung ke kantor dinas tenaga kerja.

Tidak ada lulusan pesantren yang mendaftar mencari pekerjaan.

Yang mencari pekerjaan itu ya lulusan SMA dan para sarjana “. 

Terimakasih untuk ayahku, pak Rifai. Pesanmu akan aku jaga; bahwa di Pondok adalah masa depan kami, bi idznillah wa bi 'aunih.

Lendah, 09 April 2025



Sunday, 30 March 2025

APAKAH ORANG TUA BOLEH MENGAMBIL THR ANAK?

Di negeri kita, ada tradisi berbagi uang lebaran kepada anak-anak di hari lebaran. Seorang anak biasanya mendapatkan uang hadiah dari orang tuanya, kakek-neneknya, para kerabat dan para tetangga. Yang menjadi masalah, apakah uang THR yang dimiliki anak-anak ini boleh digunakan oleh orang tuanya?

Haramnya Harta Seorang Muslim

Dalam Islam, harta seorang Muslim terjaga dan tidak boleh diambil tanpa hak. Hukumnya haram mengambil harta milik orang lain tanpa hak. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ

“Janganlah kalian makan harta sesama kalian secara batil” (QS. Al Baqarah: 188).

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda:

فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas sesama kalian darah kalian (untuk ditumpakan) dan harta kalian (untuk dirampas) dan kehormatan (untuk dirusak). Sebagaimana haramnya hari ini, haramnya bulan ini dan haramnya negeri ini” (HR. Bukhari no. 1742).

Boleh mengambil harta orang lain jika melalui muamalah yang benar dan sah seperti: jual beli, hadiah, hibah, waris, wasiat, sedekah, nafkah dan akad-akad yang lainnya. Allah ta’ala juga berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

“Wahai orang-orang berfirman janganlah kalian makan harta sesama kalian secara batil, kecuali dengan jual-beli yang disertai keridaan dari kalian” (QS. An Nisa: 29).

Apakah harta anak adalah harta orang tua?

Jawabnya, harta anak adalah hak anak dan milik anak, bukan milik orang tua sama sekali. Sebagaimana hukum asal harta seorang Muslim.

Buktinya, jika seorang anak meninggal, maka ayah dan ibunya mendapatkan harta waris dari anaknya sebesar 1/3 atau 1/6. Ayah dan ibunya tidak mendapatkan seluruh hartanya. Allah ta’ala berfirman:

وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ

“Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam” (QS. An Nisa: 11).

Ini menunjukkan bahwa harta anak tidak otomatis menjadi harta orang tua. Sehingga uang THR anak atau uang lebaran mereka adalah milik mereka, tidak boleh diambil oleh orang tua dengan cara batil.

Anak kecil itu mahjur

Harta anak kecil yang belum baligh itu statusnya mahjur. Yaitu harta tersebut harus ditahan oleh walinya, dan tidak boleh dibiarkan untuk dibelanjakan oleh mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَتُؤْتُوا السُّفَهَآءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفًا

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik” (QS. An Nisaa’: 5)

Ath Thabari dalam Tafsir-nya menjelaskan:

عن الحسن في قوله: ” ولا تؤتوا السفهاء أموالكم “، قال: لا تعطوا الصغار والنساء

“Dari Al Hasan, ketika menafsirkan [Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka], beliau mengatakan: maksudnya jangan berikan harta anak-anak kecil dan wanita (yang tidak bisa mengatur harta) kepada mereka”.

Ini juga tafsiran dari As Suddi, Adh Dhahhak, Mujahid, dan lainnya.

Harta anak kecil yang belum baligh mahjur (ditahan) karena dikhawatirkan akan dihabiskan dan disia-siakan jika diberikan kepadanya. Sebab akalnya belum sempurna, dan belum tahu bagaimana membelanjakan harta dengan benar. Ibnu Balban rahimahullah dalam Al Akhshar Al Mukhtasharat mengatakan:

فصل ويحجر على الصَّغِير وَالْمَجْنُون وَالسَّفِيه لحظهم

“Pasal: wajib ditahannya harta anak kecil, orang gila, orang dungu karena ketidak-sempurnaan akal mereka”.

Batasan menahan harta mereka adalah sampai mereka baligh atau sampai mereka dianggap mampu untuk mengatur harta dengan baik. Barulah ketika itu boleh diserahkan harta mereka kepada mereka. Ibnu Balban rahimahullah dalam Al Akhshar Al Mukhtasharat mengatakan

وَمن بلغ رشيدا اَوْ مَجْنُونا ثمَّ عقل ورشد انْفَكَّ الْحجر عَنهُ

“Anak yang sudah baligh dan matang akalnya, atau orang gila yang sudah waras dan sehat akalnya, maka ketika itu dihentikan penahanan hartanya”.

Dengan demikian uang THR atau uang lebaran anak-anak yang masih kecil, semestinya disimpan oleh orang tuanya, tidak boleh diberikan kepada mereka kecuali jika mereka sudah baligh atau bisa mengatur hartanya dengan baik.

Dan firman Allah Ta’ala:

وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ

“berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu)” 

Menunjukkan bolehnya menggunakan harta anak-anak untuk kepentingan anak-anak. Seperti membeli pakaian untuk mereka, membeli mainan, keperluan sekolah dan semisalnya.

Hadits “kamu dan hartamu milik ayahmu”

Apa yang kami jelaskan di atas, ada pengecualiannya. Terdapat hadits dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أن رجلًا أتَى النبيَّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ فقال إن لي مالًا وإن والدِي يحتاجُ مالي فقال أنت ومالُك لوالدِك إن أولادَكم من أطيبِ كسبِكم كلوا من كسبِ أولادِكم

“Ada seorang yang datang kepada Rasulullah, ia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki harta dan anak. Namun orang tuaku membutuhkan hartaku. Rasulullah kemudian menjawab, “Kamu dan hartamu milik ayahmu. Sesungguhnya anak-anakmu adalah sebaik-baik hasil usahamu. Makanlah dari hasil usaha anak-anakmu.” (HR. Abu Daud, no. 3530; Ahmad, 2: 214).

Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Abu Daud, Syaikh Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad, Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ

“Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seorang lelaki adalah dari hasil usahanya. Anak itu adalah hasil usaha dari ayahnya” (HR. Abu Daud, no. 3528; An-Nasai dalam Al-Kubra, 4/4. Ibnu Hibban no.4261).

Hadits ini juga dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Abu Daud, dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad.

Hadits ini menunjukkan seorang ayah boleh mengambil harta anaknya walaupun tanpa izin. Asy Syaukani menjelaskan: “Hadits ini menunjukkan bahwa seorang ayah bersekutu dengan anaknya dalam kepemilikan harta anaknya. Sehingga sang ayah boleh memakan harta anaknya, baik diizinkan atau tidak” (Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 4/593).

Al Khathabi rahimahullah memberikan syarat bolehnya seorang ayah mengambil harta anaknya:

1. Hanya jika ada kebutuhan, bukan untuk dalam rangka menguasai harta anak.

2. Tidak membahayakan si anak, dengan mengambil harta yang dibutuhkan oleh anak.

(Ma’alimus Sunan, 3/801).

Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan: “Seorang ayah boleh mengambil harta anaknya semaunya, selama tidak membahayakan anaknya, dan tidak untuk diberikan kepada anak yang lain, dan bukan diambil ketika salah satunya menjelang wafat, berdasarkan hadits: “engkau dan hartamu adalah milik ayahmu”” (Manhajus Salikin, hal. 176).

Oleh karena itu, ayah boleh saja mengambil THR atau uang lebaran anaknya semaunya dengan memperhatikan syarat-syarat di atas. Namun ini tidak berlaku untuk ibu.

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Yulian Purnama

Sunday, 23 March 2025

Fikih Asmaul Husna #131



Pembahasan:

Fikih Asmaul Husna #131

Bersama:
Ustadz Khaidir Muhammad Sunusi

Tempat:
Masjid As-Sunnah
Jl. Baji Rupa No. 08 Makassar

Musala Akhwat
Jl. Baji Rupa, Gedung Akhwat Sekolah Islam As-Sunnah Makassar

Simak juga live streamingnya di:
- youtube.com/c/passunnahmks/live
- facebook.com/passunnahmks/videos
- t.me/passunnahmks?livestream

Monday, 10 March 2025

Cara Membangun Istana Disurga


 

Taat Kepada Pemerintah NKRI Kunci Keamanan Negeri


 

AMPUNAN DOSA LEWAT SHOLAT TARAWIH


Jika seseorang melaksanakan shalat tarawih atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka ia akan mendapatkan pengampunan dosa yang telah lalu. Itulah di antara keutamaan shalat tarawih. Hal ini juga menunjukkan bahwa disebut ikhlas jika seseorang mengharap pahala dari sisi Allah ketika beramal.

Dalam hadits no. 697 dari Bulughul Marom, Ibnu Hajar Al Asqolani menyebutkan,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا, غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan (shalat tarawih) atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari no. 2009 dan Muslim no. 759).

Sumber https://rumaysho.com/3501-ampunan-dosa-lewat-shalat-tarawih.html